PASANG SURUT SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
Pasang Surut Sistem Pemerintahan Indonesia
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7
Sistem
pemerintahan indonesia termasuk yang paling sering berubah – ubah dibandingkan
dengan negara lain, entah ini merupakan suatu kewajaran dalam proses
pendewasaan bangsa, atau memang carut – marut negara ini benar – benar sudah
mengakar. Diawali pada saat pertama kali negara ini merdeka pada tahun 1945 –
1949, ada beberapa penyimpangan pada masa presidensial di periode ini salah
satunya berubahnya fungsi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dari pembantu
presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan
GBHN yang pada saat itu merupakan wewenang DPR. Lalu terjadi perubahan sistem
kabinet presidensial menjadi parlementer yang didasarkan pada konstitusi RIS,
ini berlangsung pada tahun 1949 - 1950. Pada periode 1950 – 1959 UUD ’50 dibuat
sebagai landasan negara menggantikan konstitusi RIS ’49. Masih berpegang pada
sistem parlementer dan masih terdapat pula penyelewengan pada pemerintahan yang
antara lain Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat, dan
Presiden berhak membubarkan DPR. Penyalahgunaan kekuasaan semakin memuncak, ini
ditandai dengan masuknya era demokrasi terpimpin tahun 1959 – 1966. Dalam
periode ini presiden memiliki kekuasaan mutlak dan dijadikannya sebagai alat
untuk menghilangkan berbagai kekuasaan yang menghalanginya, hingga pada saat
itu hanya ada 10 Parpol yang diakui, plus tidak ada kebebasan berpendapat.
Angin segar sempat dianggap datang pada masa kepemimpinan Soeharto tahun 1966 –
1998. Banyak perubahan – perubahan yang bertujuan untuk mengoreksi pemerintahan
pada orde lama, namun pada akhirnya banyak terjadi penyimpangan – penyimpangan
yang berujung pada aksi masal mahasiswa – mahasiswa Indonesia sebagai ajang
protes terhadap sistem pemerintahan yang berlaku saat itu. Reformasi pun
digulirkan setelah orde baru beserta Soeharto berhasil digulingkan. Sistem
pemerintahan dirombak pada tahun 1999, hasilnya MPR bukan merupakan lembaga
tertinggi lagi dan komposisinya terdiri atas seluruh anggota DPR dan DPD yang
keduanya dipilih rakyat. Begitu pula dengan Presiden dan Wakil Presiden dipilih
langsung oleh rakyat. Selain itu presiden tidak dapat membubarkan DPR, sehingga
kekuasaan legislatif lebih dominan. Semi presidensil semi parlementer Menurut
Duhacck perbedaan utama antara sistem presidensil dan parlementer ada empat hal,
yakni terpisah tidaknya kekuasaan seremonial dan politik, terpisah tidaknya
personalia eksekutif dan legislatif, tinggi rendahnya corak kolektif dalam
sistem pertanggungjawabannya, dan pasti tidaknya jabatan Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan. Bagaimana dengan Indonesia pada saat ini setelah mengalami
reformasi? Berdasarkan pasal 4 ayat 1 dan pasal 17 Undang – Undang Dasar 1945,
sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensil. Namun jika dilihat dari
diharuskannya presiden bertanggung jawab pada Majelis Perwakilan Rakyat, maka
eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain dimana Presiden bertanggung
jawab, padahal dalam sistem presidensil seharusnya presiden tidak bisa dipaksa
untuk mengundurkan diri. pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan
simbol pertanggung jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya Namun Jimly
Asshidiqie memaknainya dengan pandangan lain, karena Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh rakyat, oleh karena itu secara politis Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Majelis Perwakilan Rakyat melainkan langsung kepada
rakyat yang memilih, dengan kata lain sistem pemerintahan Indonesia merupakan
sistem presidensil thok. Asshidiqie berpendapat demikian mungkin karena MPR
merupakan lembaga bikamelar yang terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih langsung
oleh rakyat, sehingga pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan
simbol pertanggung jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya. Selain itu
bentuk pertanggungjawaban presiden merupakan suatu langkah yang diambil sebagai
pencegahan terulangnya kembali terciptanya suatu rezim absolut jilid dua,
setelah Alm. Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun. Selain
pertanggungjawaban kepada MPR, agar tidak ada sifat absolut dalam sistem
presidensil Indonesia, masa jabatan presiden dibatasi selama 5 tahun dan tidak
diperbolehkan menjabat kembali jika sudah dua kali terpilih dalam Pemilu.
Gejala absolutisme pada SBY Dalam sistem presidensil era ini, presiden dalam
mengangkat penjabat negara serta saat mengeluarkan kebijakan tertentu perlu
pertimbangan dan persetujuan dari DPR. Sehingga dapat disimpulkan DPR memegang
peranan penting dalam sepak terjang presiden dan ini merupakan pencegahan
penyelewengan kekuasaan. Menarik jika kita mencermati komposisi DPR saat ini, ¼
kursi di DPR di duduki oleh kader – kader partai demokrat, selain itu partai –
partai pemegang suara mayoritas pada pemilu 2009 pun menjadi koalisi dengan
partai demokrat. Dengan kata lain kebijakan – kebijakan presiden yang
dikeluarkan akan sejalan dengan pemikiran – pemikiran sebagian besar para
ajudan – ajudan rakyat di DPR. Lalu pertanyaannya, dimana letak fungsi
pengawasan kebijakan presiden yang dipegang DPR saat ini? Sebuah sikap terpuji
diperlihatkan partai – partai koalisi demokrat, yang tak terpengaruh politisasi
dalam pengambilan sikap parpol mengenai kasus Century. Terutama partai Golkar
dan PKS yang dianggap sebagai rekan terdekat dalam koalisi dengan demokrat,
justru dapat memutarbalikkan berbagai spekulasi mengenai tidak konsistennya
sikap mereka terhadap Bailout Century. Pada pemungutan suara di rapat paripurna
DPR mereka dengan tegas mengambil “opsi C” yakni beranggapan bahwa Bailout
bermasalah. Hal ini bertentangan dengan rapat kordinasi bersama koalisi yang
sebelumnya sudah ditentukan bahwa opsi yang diambil adalah “opsi A” yaitu yang
berisi bailout Century tidak ada masalah, dan akhirnya "opsi C"
keluar sebagai hasil keputusan dengan jumlah suara terbanyak. Hal inilah yang
diharapkan penulis terhadap kinerja pemerintahan, sehingga apa yang amanatkan
dalam pembentukkan sistem pemerintahan presidensial versi Indonesia ini dapat
terselenggara dengan terpuji. Tidak ada absolutisme, tetap berorientasi pada
rakyat, menjunjung high morality dalam pengambilan kebijakan, dan jujur.
Munculkan ke permukaan bahwa pemerintah adalah wakil rakyat yang berperan
sebagai pelayan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya.
SUMBER: http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7
SUMBER: http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7
Sistem pemerintahan
indonesia termasuk yang paling sering berubah – ubah dibandingkan dengan
negara lain, entah ini merupakan suatu kewajaran dalam proses
pendewasaan bangsa, atau memang carut – marut negara ini benar – benar
sudah mengakar. Diawali pada saat pertama kali negara ini merdeka pada
tahun 1945 – 1949, ada beberapa penyimpangan pada masa presidensial di
periode ini salah satunya berubahnya fungsi KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat) dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang pada saat itu
merupakan wewenang DPR. Lalu terjadi perubahan sistem kabinet
presidensial menjadi parlementer yang didasarkan pada konstitusi RIS,
ini berlangsung pada tahun 1949 - 1950. Pada periode 1950 – 1959 UUD ’50
dibuat sebagai landasan negara menggantikan konstitusi RIS ’49. Masih
berpegang pada sistem parlementer dan masih terdapat pula penyelewengan
pada pemerintahan yang antara lain Presiden dan Wakil Presiden tidak
dapat diganggu gugat, dan Presiden berhak membubarkan DPR.
Penyalahgunaan kekuasaan semakin memuncak, ini ditandai dengan masuknya
era demokrasi terpimpin tahun 1959 – 1966. Dalam periode ini presiden
memiliki kekuasaan mutlak dan dijadikannya sebagai alat untuk
menghilangkan berbagai kekuasaan yang menghalanginya, hingga pada saat
itu hanya ada 10 Parpol yang diakui, plus tidak ada kebebasan
berpendapat. Angin segar sempat dianggap datang pada masa kepemimpinan
Soeharto tahun 1966 – 1998. Banyak perubahan – perubahan yang bertujuan
untuk mengoreksi pemerintahan pada orde lama, namun pada akhirnya banyak
terjadi penyimpangan – penyimpangan yang berujung pada aksi masal
mahasiswa – mahasiswa Indonesia sebagai ajang protes terhadap sistem
pemerintahan yang berlaku saat itu. Reformasi pun digulirkan setelah
orde baru beserta Soeharto berhasil digulingkan. Sistem pemerintahan
dirombak pada tahun 1999, hasilnya MPR bukan merupakan lembaga tertinggi
lagi dan komposisinya terdiri atas seluruh anggota DPR dan DPD yang
keduanya dipilih rakyat. Begitu pula dengan Presiden dan Wakil Presiden
dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu presiden tidak dapat
membubarkan DPR, sehingga kekuasaan legislatif lebih dominan. Semi
presidensil semi parlementer Menurut Duhacck perbedaan utama antara
sistem presidensil dan parlementer ada empat hal, yakni terpisah
tidaknya kekuasaan seremonial dan politik, terpisah tidaknya personalia
eksekutif dan legislatif, tinggi rendahnya corak kolektif dalam sistem
pertanggungjawabannya, dan pasti tidaknya jabatan Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan. Bagaimana dengan Indonesia pada saat ini setelah
mengalami reformasi? Berdasarkan pasal 4 ayat 1 dan pasal 17 Undang –
Undang Dasar 1945, sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensil.
Namun jika dilihat dari diharuskannya presiden bertanggung jawab pada
Majelis Perwakilan Rakyat, maka eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga
negara lain dimana Presiden bertanggung jawab, padahal dalam sistem
presidensil seharusnya presiden tidak bisa dipaksa untuk mengundurkan
diri. pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan simbol
pertanggung jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya Namun Jimly
Asshidiqie memaknainya dengan pandangan lain, karena Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh rakyat, oleh karena itu secara politis Presiden
tidak bertanggung jawab kepada Majelis Perwakilan Rakyat melainkan
langsung kepada rakyat yang memilih, dengan kata lain sistem
pemerintahan Indonesia merupakan sistem presidensil thok. Asshidiqie
berpendapat demikian mungkin karena MPR merupakan lembaga bikamelar yang
terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, sehingga
pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan simbol pertanggung
jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya. Selain itu bentuk
pertanggungjawaban presiden merupakan suatu langkah yang diambil sebagai
pencegahan terulangnya kembali terciptanya suatu rezim absolut jilid
dua, setelah Alm. Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun. Selain
pertanggungjawaban kepada MPR, agar tidak ada sifat absolut dalam sistem
presidensil Indonesia, masa jabatan presiden dibatasi selama 5 tahun
dan tidak diperbolehkan menjabat kembali jika sudah dua kali terpilih
dalam Pemilu. Gejala absolutisme pada SBY Dalam sistem presidensil era
ini, presiden dalam mengangkat penjabat negara serta saat mengeluarkan
kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan persetujuan dari DPR. Sehingga
dapat disimpulkan DPR memegang peranan penting dalam sepak terjang
presiden dan ini merupakan pencegahan penyelewengan kekuasaan. Menarik
jika kita mencermati komposisi DPR saat ini, ¼ kursi di DPR di duduki
oleh kader – kader partai demokrat, selain itu partai – partai pemegang
suara mayoritas pada pemilu 2009 pun menjadi koalisi dengan partai
demokrat. Dengan kata lain kebijakan – kebijakan presiden yang
dikeluarkan akan sejalan dengan pemikiran – pemikiran sebagian besar
para ajudan – ajudan rakyat di DPR. Lalu pertanyaannya, dimana letak
fungsi pengawasan kebijakan presiden yang dipegang DPR saat ini? Sebuah
sikap terpuji diperlihatkan partai – partai koalisi demokrat, yang tak
terpengaruh politisasi dalam pengambilan sikap parpol mengenai kasus
Century. Terutama partai Golkar dan PKS yang dianggap sebagai rekan
terdekat dalam koalisi dengan demokrat, justru dapat memutarbalikkan
berbagai spekulasi mengenai tidak konsistennya sikap mereka terhadap
Bailout Century. Pada pemungutan suara di rapat paripurna DPR mereka
dengan tegas mengambil “opsi C” yakni beranggapan bahwa Bailout
bermasalah. Hal ini bertentangan dengan rapat kordinasi bersama koalisi
yang sebelumnya sudah ditentukan bahwa opsi yang diambil adalah “opsi
A” yaitu yang berisi bailout Century tidak ada masalah, dan akhirnya
"opsi C" keluar sebagai hasil keputusan dengan jumlah suara terbanyak.
Hal inilah yang diharapkan penulis terhadap kinerja pemerintahan,
sehingga apa yang amanatkan dalam pembentukkan sistem pemerintahan
presidensial versi Indonesia ini dapat terselenggara dengan terpuji.
Tidak ada absolutisme, tetap berorientasi pada rakyat, menjunjung high
morality dalam pengambilan kebijakan, dan jujur. Munculkan ke permukaan
bahwa pemerintah adalah wakil rakyat yang berperan sebagai pelayan
kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya. http://hesadrian.wordpress.com/
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7
Sistem pemerintahan
indonesia termasuk yang paling sering berubah – ubah dibandingkan dengan
negara lain, entah ini merupakan suatu kewajaran dalam proses
pendewasaan bangsa, atau memang carut – marut negara ini benar – benar
sudah mengakar. Diawali pada saat pertama kali negara ini merdeka pada
tahun 1945 – 1949, ada beberapa penyimpangan pada masa presidensial di
periode ini salah satunya berubahnya fungsi KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat) dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang pada saat itu
merupakan wewenang DPR. Lalu terjadi perubahan sistem kabinet
presidensial menjadi parlementer yang didasarkan pada konstitusi RIS,
ini berlangsung pada tahun 1949 - 1950. Pada periode 1950 – 1959 UUD ’50
dibuat sebagai landasan negara menggantikan konstitusi RIS ’49. Masih
berpegang pada sistem parlementer dan masih terdapat pula penyelewengan
pada pemerintahan yang antara lain Presiden dan Wakil Presiden tidak
dapat diganggu gugat, dan Presiden berhak membubarkan DPR.
Penyalahgunaan kekuasaan semakin memuncak, ini ditandai dengan masuknya
era demokrasi terpimpin tahun 1959 – 1966. Dalam periode ini presiden
memiliki kekuasaan mutlak dan dijadikannya sebagai alat untuk
menghilangkan berbagai kekuasaan yang menghalanginya, hingga pada saat
itu hanya ada 10 Parpol yang diakui, plus tidak ada kebebasan
berpendapat. Angin segar sempat dianggap datang pada masa kepemimpinan
Soeharto tahun 1966 – 1998. Banyak perubahan – perubahan yang bertujuan
untuk mengoreksi pemerintahan pada orde lama, namun pada akhirnya banyak
terjadi penyimpangan – penyimpangan yang berujung pada aksi masal
mahasiswa – mahasiswa Indonesia sebagai ajang protes terhadap sistem
pemerintahan yang berlaku saat itu. Reformasi pun digulirkan setelah
orde baru beserta Soeharto berhasil digulingkan. Sistem pemerintahan
dirombak pada tahun 1999, hasilnya MPR bukan merupakan lembaga tertinggi
lagi dan komposisinya terdiri atas seluruh anggota DPR dan DPD yang
keduanya dipilih rakyat. Begitu pula dengan Presiden dan Wakil Presiden
dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu presiden tidak dapat
membubarkan DPR, sehingga kekuasaan legislatif lebih dominan. Semi
presidensil semi parlementer Menurut Duhacck perbedaan utama antara
sistem presidensil dan parlementer ada empat hal, yakni terpisah
tidaknya kekuasaan seremonial dan politik, terpisah tidaknya personalia
eksekutif dan legislatif, tinggi rendahnya corak kolektif dalam sistem
pertanggungjawabannya, dan pasti tidaknya jabatan Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan. Bagaimana dengan Indonesia pada saat ini setelah
mengalami reformasi? Berdasarkan pasal 4 ayat 1 dan pasal 17 Undang –
Undang Dasar 1945, sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensil.
Namun jika dilihat dari diharuskannya presiden bertanggung jawab pada
Majelis Perwakilan Rakyat, maka eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga
negara lain dimana Presiden bertanggung jawab, padahal dalam sistem
presidensil seharusnya presiden tidak bisa dipaksa untuk mengundurkan
diri. pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan simbol
pertanggung jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya Namun Jimly
Asshidiqie memaknainya dengan pandangan lain, karena Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh rakyat, oleh karena itu secara politis Presiden
tidak bertanggung jawab kepada Majelis Perwakilan Rakyat melainkan
langsung kepada rakyat yang memilih, dengan kata lain sistem
pemerintahan Indonesia merupakan sistem presidensil thok. Asshidiqie
berpendapat demikian mungkin karena MPR merupakan lembaga bikamelar yang
terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, sehingga
pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan simbol pertanggung
jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya. Selain itu bentuk
pertanggungjawaban presiden merupakan suatu langkah yang diambil sebagai
pencegahan terulangnya kembali terciptanya suatu rezim absolut jilid
dua, setelah Alm. Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun. Selain
pertanggungjawaban kepada MPR, agar tidak ada sifat absolut dalam sistem
presidensil Indonesia, masa jabatan presiden dibatasi selama 5 tahun
dan tidak diperbolehkan menjabat kembali jika sudah dua kali terpilih
dalam Pemilu. Gejala absolutisme pada SBY Dalam sistem presidensil era
ini, presiden dalam mengangkat penjabat negara serta saat mengeluarkan
kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan persetujuan dari DPR. Sehingga
dapat disimpulkan DPR memegang peranan penting dalam sepak terjang
presiden dan ini merupakan pencegahan penyelewengan kekuasaan. Menarik
jika kita mencermati komposisi DPR saat ini, ¼ kursi di DPR di duduki
oleh kader – kader partai demokrat, selain itu partai – partai pemegang
suara mayoritas pada pemilu 2009 pun menjadi koalisi dengan partai
demokrat. Dengan kata lain kebijakan – kebijakan presiden yang
dikeluarkan akan sejalan dengan pemikiran – pemikiran sebagian besar
para ajudan – ajudan rakyat di DPR. Lalu pertanyaannya, dimana letak
fungsi pengawasan kebijakan presiden yang dipegang DPR saat ini? Sebuah
sikap terpuji diperlihatkan partai – partai koalisi demokrat, yang tak
terpengaruh politisasi dalam pengambilan sikap parpol mengenai kasus
Century. Terutama partai Golkar dan PKS yang dianggap sebagai rekan
terdekat dalam koalisi dengan demokrat, justru dapat memutarbalikkan
berbagai spekulasi mengenai tidak konsistennya sikap mereka terhadap
Bailout Century. Pada pemungutan suara di rapat paripurna DPR mereka
dengan tegas mengambil “opsi C” yakni beranggapan bahwa Bailout
bermasalah. Hal ini bertentangan dengan rapat kordinasi bersama koalisi
yang sebelumnya sudah ditentukan bahwa opsi yang diambil adalah “opsi
A” yaitu yang berisi bailout Century tidak ada masalah, dan akhirnya
"opsi C" keluar sebagai hasil keputusan dengan jumlah suara terbanyak.
Hal inilah yang diharapkan penulis terhadap kinerja pemerintahan,
sehingga apa yang amanatkan dalam pembentukkan sistem pemerintahan
presidensial versi Indonesia ini dapat terselenggara dengan terpuji.
Tidak ada absolutisme, tetap berorientasi pada rakyat, menjunjung high
morality dalam pengambilan kebijakan, dan jujur. Munculkan ke permukaan
bahwa pemerintah adalah wakil rakyat yang berperan sebagai pelayan
kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya. http://hesadrian.wordpress.com/
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar