Selasa, 10 November 2015

ANALISIS (PASANG SURUT SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA)



PASANG SURUT SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Pasang Surut Sistem Pemerintahan Indonesia

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7

Sistem pemerintahan indonesia termasuk yang paling sering berubah – ubah dibandingkan dengan negara lain, entah ini merupakan suatu kewajaran dalam proses pendewasaan bangsa, atau memang carut – marut negara ini benar – benar sudah mengakar. Diawali pada saat pertama kali negara ini merdeka pada tahun 1945 – 1949, ada beberapa penyimpangan pada masa presidensial di periode ini salah satunya berubahnya fungsi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang pada saat itu merupakan wewenang DPR. Lalu terjadi perubahan sistem kabinet presidensial menjadi parlementer yang didasarkan pada konstitusi RIS, ini berlangsung pada tahun 1949 - 1950. Pada periode 1950 – 1959 UUD ’50 dibuat sebagai landasan negara menggantikan konstitusi RIS ’49. Masih berpegang pada sistem parlementer dan masih terdapat pula penyelewengan pada pemerintahan yang antara lain Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat, dan Presiden berhak membubarkan DPR. Penyalahgunaan kekuasaan semakin memuncak, ini ditandai dengan masuknya era demokrasi terpimpin tahun 1959 – 1966. Dalam periode ini presiden memiliki kekuasaan mutlak dan dijadikannya sebagai alat untuk menghilangkan berbagai kekuasaan yang menghalanginya, hingga pada saat itu hanya ada 10 Parpol yang diakui, plus tidak ada kebebasan berpendapat. Angin segar sempat dianggap datang pada masa kepemimpinan Soeharto tahun 1966 – 1998. Banyak perubahan – perubahan yang bertujuan untuk mengoreksi pemerintahan pada orde lama, namun pada akhirnya banyak terjadi penyimpangan – penyimpangan yang berujung pada aksi masal mahasiswa – mahasiswa Indonesia sebagai ajang protes terhadap sistem pemerintahan yang berlaku saat itu. Reformasi pun digulirkan setelah orde baru beserta Soeharto berhasil digulingkan. Sistem pemerintahan dirombak pada tahun 1999, hasilnya MPR bukan merupakan lembaga tertinggi lagi dan komposisinya terdiri atas seluruh anggota DPR dan DPD yang keduanya dipilih rakyat. Begitu pula dengan Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu presiden tidak dapat membubarkan DPR, sehingga kekuasaan legislatif lebih dominan. Semi presidensil semi parlementer Menurut Duhacck perbedaan utama antara sistem presidensil dan parlementer ada empat hal, yakni terpisah tidaknya kekuasaan seremonial dan politik, terpisah tidaknya personalia eksekutif dan legislatif, tinggi rendahnya corak kolektif dalam sistem pertanggungjawabannya, dan pasti tidaknya jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Bagaimana dengan Indonesia pada saat ini setelah mengalami reformasi? Berdasarkan pasal 4 ayat 1 dan pasal 17 Undang – Undang Dasar 1945, sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensil. Namun jika dilihat dari diharuskannya presiden bertanggung jawab pada Majelis Perwakilan Rakyat, maka eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain dimana Presiden bertanggung jawab, padahal dalam sistem presidensil seharusnya presiden tidak bisa dipaksa untuk mengundurkan diri. pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan simbol pertanggung jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya Namun Jimly Asshidiqie memaknainya dengan pandangan lain, karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat, oleh karena itu secara politis Presiden tidak bertanggung jawab kepada Majelis Perwakilan Rakyat melainkan langsung kepada rakyat yang memilih, dengan kata lain sistem pemerintahan Indonesia merupakan sistem presidensil thok. Asshidiqie berpendapat demikian mungkin karena MPR merupakan lembaga bikamelar yang terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, sehingga pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan simbol pertanggung jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya. Selain itu bentuk pertanggungjawaban presiden merupakan suatu langkah yang diambil sebagai pencegahan terulangnya kembali terciptanya suatu rezim absolut jilid dua, setelah Alm. Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun. Selain pertanggungjawaban kepada MPR, agar tidak ada sifat absolut dalam sistem presidensil Indonesia, masa jabatan presiden dibatasi selama 5 tahun dan tidak diperbolehkan menjabat kembali jika sudah dua kali terpilih dalam Pemilu. Gejala absolutisme pada SBY Dalam sistem presidensil era ini, presiden dalam mengangkat penjabat negara serta saat mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan persetujuan dari DPR. Sehingga dapat disimpulkan DPR memegang peranan penting dalam sepak terjang presiden dan ini merupakan pencegahan penyelewengan kekuasaan. Menarik jika kita mencermati komposisi DPR saat ini, ¼ kursi di DPR di duduki oleh kader – kader partai demokrat, selain itu partai – partai pemegang suara mayoritas pada pemilu 2009 pun menjadi koalisi dengan partai demokrat. Dengan kata lain kebijakan – kebijakan presiden yang dikeluarkan akan sejalan dengan pemikiran – pemikiran sebagian besar para ajudan – ajudan rakyat di DPR. Lalu pertanyaannya, dimana letak fungsi pengawasan kebijakan presiden yang dipegang DPR saat ini? Sebuah sikap terpuji diperlihatkan partai – partai koalisi demokrat, yang tak terpengaruh politisasi dalam pengambilan sikap parpol mengenai kasus Century. Terutama partai Golkar dan PKS yang dianggap sebagai rekan terdekat dalam koalisi dengan demokrat, justru dapat memutarbalikkan berbagai spekulasi mengenai tidak konsistennya sikap mereka terhadap Bailout Century. Pada pemungutan suara di rapat paripurna DPR mereka dengan tegas mengambil “opsi C” yakni beranggapan bahwa Bailout bermasalah. Hal ini bertentangan dengan rapat kordinasi bersama koalisi yang sebelumnya sudah ditentukan bahwa opsi yang diambil adalah “opsi A” yaitu yang berisi bailout Century tidak ada masalah, dan akhirnya "opsi C" keluar sebagai hasil keputusan dengan jumlah suara terbanyak. Hal inilah yang diharapkan penulis terhadap kinerja pemerintahan, sehingga apa yang amanatkan dalam pembentukkan sistem pemerintahan presidensial versi Indonesia ini dapat terselenggara dengan terpuji. Tidak ada absolutisme, tetap berorientasi pada rakyat, menjunjung high morality dalam pengambilan kebijakan, dan jujur. Munculkan ke permukaan bahwa pemerintah adalah wakil rakyat yang berperan sebagai pelayan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya.

SUMBER: http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7




Sistem pemerintahan indonesia termasuk yang paling sering berubah – ubah dibandingkan dengan negara lain, entah ini merupakan suatu kewajaran dalam proses pendewasaan bangsa, atau memang carut – marut negara ini benar – benar sudah mengakar. Diawali pada saat pertama kali negara ini merdeka pada tahun 1945 – 1949, ada beberapa penyimpangan pada masa presidensial di periode ini salah satunya berubahnya fungsi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang pada saat itu merupakan wewenang DPR. Lalu terjadi perubahan sistem kabinet presidensial menjadi parlementer yang didasarkan pada konstitusi RIS, ini berlangsung pada tahun 1949 - 1950. Pada periode 1950 – 1959 UUD ’50 dibuat sebagai landasan negara menggantikan konstitusi RIS ’49. Masih berpegang pada sistem parlementer dan masih terdapat pula penyelewengan pada pemerintahan yang antara lain Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat, dan Presiden berhak membubarkan DPR. Penyalahgunaan kekuasaan semakin memuncak, ini ditandai dengan masuknya era demokrasi terpimpin tahun 1959 – 1966. Dalam periode ini presiden memiliki kekuasaan mutlak dan dijadikannya sebagai alat untuk menghilangkan berbagai kekuasaan yang menghalanginya, hingga pada saat itu hanya ada 10 Parpol yang diakui, plus tidak ada kebebasan berpendapat. Angin segar sempat dianggap datang pada masa kepemimpinan Soeharto tahun 1966 – 1998. Banyak perubahan – perubahan yang bertujuan untuk mengoreksi pemerintahan pada orde lama, namun pada akhirnya banyak terjadi penyimpangan – penyimpangan yang berujung pada aksi masal mahasiswa – mahasiswa Indonesia sebagai ajang protes terhadap sistem pemerintahan yang berlaku saat itu. Reformasi pun digulirkan setelah orde baru beserta Soeharto berhasil digulingkan. Sistem pemerintahan dirombak pada tahun 1999, hasilnya MPR bukan merupakan lembaga tertinggi lagi dan komposisinya terdiri atas seluruh anggota DPR dan DPD yang keduanya dipilih rakyat. Begitu pula dengan Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu presiden tidak dapat membubarkan DPR, sehingga kekuasaan legislatif lebih dominan. Semi presidensil semi parlementer Menurut Duhacck perbedaan utama antara sistem presidensil dan parlementer ada empat hal, yakni terpisah tidaknya kekuasaan seremonial dan politik, terpisah tidaknya personalia eksekutif dan legislatif, tinggi rendahnya corak kolektif dalam sistem pertanggungjawabannya, dan pasti tidaknya jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Bagaimana dengan Indonesia pada saat ini setelah mengalami reformasi? Berdasarkan pasal 4 ayat 1 dan pasal 17 Undang – Undang Dasar 1945, sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensil. Namun jika dilihat dari diharuskannya presiden bertanggung jawab pada Majelis Perwakilan Rakyat, maka eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain dimana Presiden bertanggung jawab, padahal dalam sistem presidensil seharusnya presiden tidak bisa dipaksa untuk mengundurkan diri. pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan simbol pertanggung jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya Namun Jimly Asshidiqie memaknainya dengan pandangan lain, karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat, oleh karena itu secara politis Presiden tidak bertanggung jawab kepada Majelis Perwakilan Rakyat melainkan langsung kepada rakyat yang memilih, dengan kata lain sistem pemerintahan Indonesia merupakan sistem presidensil thok. Asshidiqie berpendapat demikian mungkin karena MPR merupakan lembaga bikamelar yang terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, sehingga pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan simbol pertanggung jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya. Selain itu bentuk pertanggungjawaban presiden merupakan suatu langkah yang diambil sebagai pencegahan terulangnya kembali terciptanya suatu rezim absolut jilid dua, setelah Alm. Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun. Selain pertanggungjawaban kepada MPR, agar tidak ada sifat absolut dalam sistem presidensil Indonesia, masa jabatan presiden dibatasi selama 5 tahun dan tidak diperbolehkan menjabat kembali jika sudah dua kali terpilih dalam Pemilu. Gejala absolutisme pada SBY Dalam sistem presidensil era ini, presiden dalam mengangkat penjabat negara serta saat mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan persetujuan dari DPR. Sehingga dapat disimpulkan DPR memegang peranan penting dalam sepak terjang presiden dan ini merupakan pencegahan penyelewengan kekuasaan. Menarik jika kita mencermati komposisi DPR saat ini, ¼ kursi di DPR di duduki oleh kader – kader partai demokrat, selain itu partai – partai pemegang suara mayoritas pada pemilu 2009 pun menjadi koalisi dengan partai demokrat. Dengan kata lain kebijakan – kebijakan presiden yang dikeluarkan akan sejalan dengan pemikiran – pemikiran sebagian besar para ajudan – ajudan rakyat di DPR. Lalu pertanyaannya, dimana letak fungsi pengawasan kebijakan presiden yang dipegang DPR saat ini? Sebuah sikap terpuji diperlihatkan partai – partai koalisi demokrat, yang tak terpengaruh politisasi dalam pengambilan sikap parpol mengenai kasus Century. Terutama partai Golkar dan PKS yang dianggap sebagai rekan terdekat dalam koalisi dengan demokrat, justru dapat memutarbalikkan berbagai spekulasi mengenai tidak konsistennya sikap mereka terhadap Bailout Century. Pada pemungutan suara di rapat paripurna DPR mereka dengan tegas mengambil “opsi C” yakni beranggapan bahwa Bailout bermasalah. Hal ini bertentangan dengan rapat kordinasi bersama koalisi yang sebelumnya sudah ditentukan bahwa opsi yang diambil adalah “opsi A” yaitu yang berisi bailout Century tidak ada masalah, dan akhirnya "opsi C" keluar sebagai hasil keputusan dengan jumlah suara terbanyak. Hal inilah yang diharapkan penulis terhadap kinerja pemerintahan, sehingga apa yang amanatkan dalam pembentukkan sistem pemerintahan presidensial versi Indonesia ini dapat terselenggara dengan terpuji. Tidak ada absolutisme, tetap berorientasi pada rakyat, menjunjung high morality dalam pengambilan kebijakan, dan jujur. Munculkan ke permukaan bahwa pemerintah adalah wakil rakyat yang berperan sebagai pelayan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya. http://hesadrian.wordpress.com/

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7
Sistem pemerintahan indonesia termasuk yang paling sering berubah – ubah dibandingkan dengan negara lain, entah ini merupakan suatu kewajaran dalam proses pendewasaan bangsa, atau memang carut – marut negara ini benar – benar sudah mengakar. Diawali pada saat pertama kali negara ini merdeka pada tahun 1945 – 1949, ada beberapa penyimpangan pada masa presidensial di periode ini salah satunya berubahnya fungsi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang pada saat itu merupakan wewenang DPR. Lalu terjadi perubahan sistem kabinet presidensial menjadi parlementer yang didasarkan pada konstitusi RIS, ini berlangsung pada tahun 1949 - 1950. Pada periode 1950 – 1959 UUD ’50 dibuat sebagai landasan negara menggantikan konstitusi RIS ’49. Masih berpegang pada sistem parlementer dan masih terdapat pula penyelewengan pada pemerintahan yang antara lain Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat, dan Presiden berhak membubarkan DPR. Penyalahgunaan kekuasaan semakin memuncak, ini ditandai dengan masuknya era demokrasi terpimpin tahun 1959 – 1966. Dalam periode ini presiden memiliki kekuasaan mutlak dan dijadikannya sebagai alat untuk menghilangkan berbagai kekuasaan yang menghalanginya, hingga pada saat itu hanya ada 10 Parpol yang diakui, plus tidak ada kebebasan berpendapat. Angin segar sempat dianggap datang pada masa kepemimpinan Soeharto tahun 1966 – 1998. Banyak perubahan – perubahan yang bertujuan untuk mengoreksi pemerintahan pada orde lama, namun pada akhirnya banyak terjadi penyimpangan – penyimpangan yang berujung pada aksi masal mahasiswa – mahasiswa Indonesia sebagai ajang protes terhadap sistem pemerintahan yang berlaku saat itu. Reformasi pun digulirkan setelah orde baru beserta Soeharto berhasil digulingkan. Sistem pemerintahan dirombak pada tahun 1999, hasilnya MPR bukan merupakan lembaga tertinggi lagi dan komposisinya terdiri atas seluruh anggota DPR dan DPD yang keduanya dipilih rakyat. Begitu pula dengan Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu presiden tidak dapat membubarkan DPR, sehingga kekuasaan legislatif lebih dominan. Semi presidensil semi parlementer Menurut Duhacck perbedaan utama antara sistem presidensil dan parlementer ada empat hal, yakni terpisah tidaknya kekuasaan seremonial dan politik, terpisah tidaknya personalia eksekutif dan legislatif, tinggi rendahnya corak kolektif dalam sistem pertanggungjawabannya, dan pasti tidaknya jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Bagaimana dengan Indonesia pada saat ini setelah mengalami reformasi? Berdasarkan pasal 4 ayat 1 dan pasal 17 Undang – Undang Dasar 1945, sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensil. Namun jika dilihat dari diharuskannya presiden bertanggung jawab pada Majelis Perwakilan Rakyat, maka eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain dimana Presiden bertanggung jawab, padahal dalam sistem presidensil seharusnya presiden tidak bisa dipaksa untuk mengundurkan diri. pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan simbol pertanggung jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya Namun Jimly Asshidiqie memaknainya dengan pandangan lain, karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat, oleh karena itu secara politis Presiden tidak bertanggung jawab kepada Majelis Perwakilan Rakyat melainkan langsung kepada rakyat yang memilih, dengan kata lain sistem pemerintahan Indonesia merupakan sistem presidensil thok. Asshidiqie berpendapat demikian mungkin karena MPR merupakan lembaga bikamelar yang terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, sehingga pertanggung jawaban presiden terhadap MPR merupakan simbol pertanggung jawaban presiden terhadap rakyat yang memilihnya. Selain itu bentuk pertanggungjawaban presiden merupakan suatu langkah yang diambil sebagai pencegahan terulangnya kembali terciptanya suatu rezim absolut jilid dua, setelah Alm. Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun. Selain pertanggungjawaban kepada MPR, agar tidak ada sifat absolut dalam sistem presidensil Indonesia, masa jabatan presiden dibatasi selama 5 tahun dan tidak diperbolehkan menjabat kembali jika sudah dua kali terpilih dalam Pemilu. Gejala absolutisme pada SBY Dalam sistem presidensil era ini, presiden dalam mengangkat penjabat negara serta saat mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan persetujuan dari DPR. Sehingga dapat disimpulkan DPR memegang peranan penting dalam sepak terjang presiden dan ini merupakan pencegahan penyelewengan kekuasaan. Menarik jika kita mencermati komposisi DPR saat ini, ¼ kursi di DPR di duduki oleh kader – kader partai demokrat, selain itu partai – partai pemegang suara mayoritas pada pemilu 2009 pun menjadi koalisi dengan partai demokrat. Dengan kata lain kebijakan – kebijakan presiden yang dikeluarkan akan sejalan dengan pemikiran – pemikiran sebagian besar para ajudan – ajudan rakyat di DPR. Lalu pertanyaannya, dimana letak fungsi pengawasan kebijakan presiden yang dipegang DPR saat ini? Sebuah sikap terpuji diperlihatkan partai – partai koalisi demokrat, yang tak terpengaruh politisasi dalam pengambilan sikap parpol mengenai kasus Century. Terutama partai Golkar dan PKS yang dianggap sebagai rekan terdekat dalam koalisi dengan demokrat, justru dapat memutarbalikkan berbagai spekulasi mengenai tidak konsistennya sikap mereka terhadap Bailout Century. Pada pemungutan suara di rapat paripurna DPR mereka dengan tegas mengambil “opsi C” yakni beranggapan bahwa Bailout bermasalah. Hal ini bertentangan dengan rapat kordinasi bersama koalisi yang sebelumnya sudah ditentukan bahwa opsi yang diambil adalah “opsi A” yaitu yang berisi bailout Century tidak ada masalah, dan akhirnya "opsi C" keluar sebagai hasil keputusan dengan jumlah suara terbanyak. Hal inilah yang diharapkan penulis terhadap kinerja pemerintahan, sehingga apa yang amanatkan dalam pembentukkan sistem pemerintahan presidensial versi Indonesia ini dapat terselenggara dengan terpuji. Tidak ada absolutisme, tetap berorientasi pada rakyat, menjunjung high morality dalam pengambilan kebijakan, dan jujur. Munculkan ke permukaan bahwa pemerintah adalah wakil rakyat yang berperan sebagai pelayan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya. http://hesadrian.wordpress.com/

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hesadrian/pasang-surut-sistem-pemerintahan-indonesia_55002d63a33311bb7450fea7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar